Jumat, 08 Juli 2011

Menghidukan kembali kain tenun dayak desa kabupaten sintang

menenun
Pada waktu yang lampau menenun menjadi kuwajiban bagi setiap perempuan dari Suku Dayak. Hal ini dilakukan sebagai tuntutan dalam pemenuhan kebutuhan akan pakaian serta keperluan adat istiadat. Namun dengan perkembangan zaman dan teknologi maka kegiatan menenun manjadi sesuatu yang langka dan tidak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Bagi sebagian kecil ibu-ibu, menenun  dilaksanakan untuk mengisi waktu luang disela-sela kesibukan kegiatan pertanian, sehingga untuk menghasilkan kain memerlukan cukup banyak waktu.
Di pahami bahwa seni budaya menenun merupakan kebudayaan yang diwariskan oleh generasi terdahulu yang mempunyai keunikan, nilai seni dan sejarah yang tinggi. Tahapan untuk menghasilkan sebuah karya kain tenun ikat dimulai dari penanaman kapas, pembuatan benang/memintal, ngaos (peminyakan benang), mewarna/mencelup, mengikat motif, menenun dan menjadikan pakaian adat merupakan rangkaian proses  panjang. Dari beberapa tahapan tersebut dilakukan ritual-ritual tertentu yang dipercaya sebagai roh untuk membangkitkan semangat dalam bekerja maupun untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Ini merupakan tradisi dan kebudayaan dari leluhur masyarakat suku Dayak Desa yang dilakuakan puluhan tahun silam. Puluhan bahkan ratusan motif pada kain tenun ikat Dayak berasal dari inspirasi, mimpi dan pengetahuan para leluhur yang mengandung makna begitu mendalam sebagai nasehat, petuah, pantangan, dan semangat dalam kehidupan keseharian.
tenun ikat-cepuk kuning-http://kainikat.com/
Bahan baku untuk mengasilkan kain tenun adalah benang  dan pewarna. Untuk mendapat benang dimulai dari menanam tumbuhan kapas yang ditanam di lading pada musim sesudah panen, selanjutnya diolah atau dipintal sendiri menjadi benang. Demikian juga pewarna berasal dari alam yaitu tumbuh-tumbuhan (daun, akar, batang, kulit, buah, umbi, biji, dll), maupun binatang (lemak ular sawa, labi-labi dan sebagainya).
Peralatan yang dipergunakan dibuat sendiri secara sederhana menggunakan bahan alam yang tersedia di lingkungan pemukiman dan menggunakan bahan yang berkualitas baik, yaitu dengan kayu ulin, rotan, dan bahan lain yang dipercayai berkualitas baik. Peralatan terdiri dari alat untuk memisahkan serat kapas dengan bijinya, alat memintal (gasing), alat membentang benang, dan alat menenun. Inilah rangkaian proses yang ditelusuri dalam menghasilkan suatu karya seni kain tenun ikat Dayak sebagai salah satu kekayaan budaya masyarakat Dayak khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.
Tenun ikat adalah sebuah teknik menenun dimana pola kain dibuat dengan mengikat benang dengan benang penahan celup. Benang yang telah diikat ini dicelup berkali kali untuk memperoleh pola yang diinginkan. Benang yang telah berpola ini lalu ditenun. Teknik ikat disebut sebut sebagai teknik celup tertua di dunia. (Gillow, 1999) Pada dengan akhir tahun 1980-an kain tenun ikat sudah semakin sulit dijumpai. Banyak kain tua yang dijual kepada pembeli dari luar seiring dengan populernya kain ini di Eropa dan Amerika. Di lain pihak, penenun semakin sulit dijumpai di kampung-kampung. Orang-orang tua yang pintar menenun sudah semakin berkurang, dan keahliannya tidak diturunkan kepada generasi muda. Kain-kain tua hanya bisa dijumpai pada keluarga-keluarga yang masih menghargai kain sebagai warisan nenek moyang yang harus disimpan.

syal-http://kainikat.com/
Menghidupkan Kembali Tenun Ikat Dayak
Prihatin akan keadaan ini, pemerintah setempat dan individu (seperti Pastor Jacques Maessen) secara perlahan mulai membangun beberapa kegiatan kecil melibatkan beberapa orang atau keluarga yang masih mau dan tertarik untuk menghidupkan kembali kegiatan menenun. Berbagai pendekatan dilakukan, namun perkembangannya terasa lamban karena masyarakat tidak bisa menerima begitu saja arahan dari orang luar untuk mengubah kebiasaan atau pola hidup mereka.
Pada tahun 1999, beberapa organisasi non pemerintah (NGO) membangun kolaborasi (Yayasan KOBUS – PRCF/PRCF Indonesia – YSDK, atas dukungan Ford Foundation) dan mulai terlibat untuk menghidupkan kembali kegiatan menenun sebagai upaya alternatif untuk meningkatkan pendapatan keluarga, sekaligus untuk melestarikan seni budaya menenun itu sendiri. Upaya ini dibangun melalui suatu program yang dinamakan ”Restorasi Tenun Ikat Dayak”.
Setelah beberapa tahun kemudian, apa yang terjadi? Lain ulu’ lain parang, lain dulu lain sekarang. Sintang kini dikenal karena kain tenun ikatnya. Orang Sintang bangga mengkoleksi dan memakai kain tenun ikat, dan kain bermutu tinggi mudah ditemukan, semudah menemukan komunitas penenun yang begitu bergairah menenun di sela-sela kegiatan sehari-harinya. Bahkan pada tahun 2006 lembaga yang mewadahi kegiatan masyarakat ini, Koperasi Jasa Menenun Mandiri memperoleh penghargaan dari Menteri Perindustrian.
Sebelumnya, pada tahun 2002 program ini menjadi salah satu nara sumber pada Workshop on Best Practice Cases Studies of Regional Development Activities with Local Initiatives yang diorganisasikan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Center for Economic and Social Studies (Cess) di Pontianak, Kalimantan Barat.

bungan lentik-http://kainikat.com/
Program Pemberdayaan
Apa yang telah dicapai masyarakat Sintang ini tidaklah serta merta terjadi dalam waktu singkat. Pada tahap awal program ini, beberapa hal dicoba dipetakan, yakni (a) jumlah penenun, (b) sebaran penenun, (c) tingkat keahlian penenun, (d) produktivitas penenun, dan (e) pemasaran kain hasil tenunan. Mulanya tercatat sekitar 40-an orang penenun yang tersebar di lima kampung, yakni Ensaid Panjang, Baning Panjang, Ransi Panjang, Umin dan Menaung. Dari sekian banyak penenun tersebut, hanya belasan orang saja yang benar-benar ahli yang umumnya telah berumur di atas 45 tahun.
Ditemukan juga bahwa produktivitas penenun relatif rendah. Untuk membuat selembar kain pua, diperlukan waktu antara 6 sampai 12 bulan. Namun hal ini bukan disebabkan oleh keterampilan yang rendah, tetapi karena mereka hanya menenun di waktu senggang disela-sela kegiatan berladang. Disamping itu ada juga aturan tidak tertulis (tradisi oral) yang mengatur penenun dan kegiatan menenun. Sementara itu pemasaran hampir tidak dikenal karena kain tenun ini memang bukan untuk dijual melainkan untuk dipakai pada upacara atau pesta adat. Kain baru dijual kalau ada pembeli atau pengumpul yang datang ke kampung.
Para penenun yang teridentifikasi ini mulai dimotivasi melalui pembelajaran kritis untuk memberdayakan diri mereka. Mereka diajak memahami permasalahan yang dihadapi, dan menggali potensi yang mereka miliki, hingga akhirnya pada tahun 2000 masyarakat sepakat untuk berhimpun dalam kelompok yang dinamakan Kelompok Usaha Bersama Jasa Menenun Mandiri (KUBJMM).
Berbagai penguatan diberikan kepada pengurus dan anggota KUBJMM ini. Para pengurus dan wakil-wakil anggota di setiap kampung dibekali dengan pengetahun manajemen, pembukuan, dan fasilitas untuk menjalankan kegiatan simpan-pinjam dan pembelianpemasaran kain tenun ikat. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pada tahun 2001 kelompok ini diubah menjadi berbadan hukum Koperasi.
sejadah-ukir bunga-http://kainikat.com/
Koperasi JMM ini terus berkembang. Pada akhir Januari 2006, anggotanya telah mencapai 524 orang yang tersebar di 20 kampung, dengan asset per 31 Desember 2005 sebesar Rp302.899.781,00. Koperasi ini semua pengurusnya terdiri dari kaum perempuan, dan anggotanya 98% (515 orang) adalah kaum perempuan. Jadi bisa dibayangkan aktivitas para perempuan penenun di Sintang ini, mereka tidak saja bekerja di rumah, di ladang, dan di kebun, tetapi saat ini dengan segala keterbatasannya, mereka telah mengorganisasikan diri dan menghasilkan sesuatu yang berarti. Kain tenun ikat yang mereka hasilkan tidak saja telah memberdayakan mereka secara ekonomi, tetapi juga telah menghidupkan dan melestarikan seni budaya tenun ikat Dayak itu sendiri.
Sepintas warna dan motif kain tenun ini hampir sama dengan tenun Dayak Iban yang berasal dari daerah Kapuas Hulu di Kalimantan Barat. Namun bila diperhatikan dengan teliti, ternyata kain tenun yang dominan dengan warna hitam dan merah ini adalah tenun Sintang yang dibuat para perajin di daerah Sintang. Produk ini tergolong tenun ikat tradisional, yang hampir sama dengan tenun Dayak Iban. Bedanya, tenun Iban memiliki desain motif yang cenderung figuratif atau jelas.
“Misalnya menggambarkan orang, ya jelas seperti orang, bila gambarnya buaya, jelas seperti buaya. Sementara tenun Sintang cenderung agak abstrak, ” jelas Imanul Huda dari PT People, Resources, and Conservation Foundation (PRCF). Tenun ada dua jenis, masing-masing adalah pua kumbu karena digunakan sebagai kumbu (selimut) atau dipakai untuk menutupi badan. dan kain kebat atau tating yang digunakan sebagai rok.
tas mungil-tenun ikat-http://kainikat.com/
“Kadang dipasang aksen kerincing di tepinya sehingga bila dipakai saat menari pada acara-acara adat, bisa bermunyi gemerincing!” ucap Imanul. Untuk kain yang digunakan pada acara adat terdapat motif-motif tertentu yang biasa dikenakan para bangsawan. Ada yang dinamakan motif kelangka, yang menggambarkan kijang, manusia, ikan, dan masih banyak lagi. “Tapi saat ini, hampir semua motif bisa dipakai oleh masyarakat biasa,” tutur pendamping perajin tenun di Sintang ini.
Menurut Imanul, tenun ikat khas Dayak sekadar produk sambilan sambilan kaum perempuan Dayak yang tinggal di kampung-kampung sekitar hutan maupun di rumah betang (tradisional) mereka. Dengan alat tenun tradisional (gedokan), mereka biasa mengerjakannya saat istirahat setelah bekerja dari ladang atau malam hari. Gedokan yang bisa dibawa ke mana-mana, terdiri dari bagian-bagian hat, keletak, beliak dan kelungan.
Imanul menjelaskan bahwa untuk menjadi selembar kain berukuran kebat atau tating, (seukuran taplak meja), umumnya dapat diselesaikan dalam jangka waktu satu bulan. Tetapi jika dilakukan intensif bisa selesai dalam dua minggu. Lain halnya dengan kain yang berukuran kumbu (seukuran selimut), bisa memakan waktu hingga enam bulan, meski cukup dua bulan jika dikerjakan secara intensif.
Lamanya waktu pengerjaan ini dikarenakan rangkaian prosesnya memang begitu panjang. Proses itu antara lain, penyiapan bahan baku, merentang benang, membuat motif, mewarnai benang dengan pewarna alam atau pewarna sintetis, menenun, kemudian menjualnya. Apalagi ketika pengerjaannya sekadar sambilan di kala senggang. Bahan baku utama tenun Sintang adalah benang katun dengan pilihan warna dominan merah dan hitam.
tas mungil-tenun ikat-http://kainikat.com/
Ciri khas bahan dan warna ini sama dengan tenun Iban, hanya saja pemintalan benangnya yang berbeda. “Kalau tenun Iban benangnya bisa lapis tiga, sedangkan tenun Sintang hanya lapis satu atau dua saja sehingga kainnya lebih lembut,” terang Imanul. Pembentukan motif dilakukan ketika benang mulai dibentang pada alat tenun, kemudian mulai dibuat pola motif dengan cara digambar.
Hasil tenunan perajin di Sintang dipasarkan dengan harga yang bervariasi, dari sekitar dari Rp 100.000,- sampai Rp 150.000,-. Namun untuk kain yang memiliki permainan motif yang beragam harganya bisa mencapai Rp 500.000,- hingga jutaan rupiah. Menurut Imanul, salah satu alasan perajin menjadikannya pekerjaan sambilan, karena daya serap pasar masih rendah. Untuk itu, LSM lokal yang bernama PT. PRCF Indonesia membuat program terpadu bertajuk “Festival Tenun Ikat Dayak”.
Anda tertarik untuk ikut serta melestarikan budaya sekaligus gaya dan gaul dengan tenun ikat? langsung pesan gan…….selagi stock masih ada……..keep spirit and do the best
Boedax pacie nieh............! ! ! !